Oleh : Aska Primardi, S.Psi, M.A.
Pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi setiap orang. Khususnya anak-anak. Melalui proses pendidikan, diharapkan setiap orang akan memiliki bekal untuk masa depannya. Sekolah ataupun perguruan tinggi diharapkan tidak hanya memberikan pendidikan materi saja, tetapi juga pendidikan sosial dan emosional. Dengan demikian, setiap orang dapat mencapai hasil yang maksimal dalam perkembangan fisik, kognitif, sosial, dan emosi.
Namun, bagi anak-anak dengan gangguan epilepsi, pendidikan seringkali terasa sebagai sesuatu yang mahal harganya. Berbagai hambatan dialami oleh mereka sehingga sulit untuk menyelesaikan pendidikannya.
Hambatan pertama adalah masalah kognitif. Hal ini dapat dimaklumi mengingat gangguan epilepsi berpusat di otak mereka. Masalah yang dihadapi antara lain inteligensi, bahasa, visio-perceptual dan spatial skills, memori, proses psikomotorik, kecepatan berpikir, dan kemampuan sensori-motorik. Permasalahan fungsi kognitif inilah yang seringkali menyebabkan ODE menemui hambatan dalam hal pendidikan dan pembelajaran. ODE merasa sulit menangkap dan memahami materi pelajaran, sehingga ia merasa menjadi anak paling bodoh (Bishop & Hermann, 2000).
Hambatan kedua adalah masalah psikososial. Kami pernah mewawancarai beberapa ODE, mereka menceritakan tentang pengalaman mereka dalam lingkungan sekolah. Ada yang menceritakan bahwa ia tidak mau sekolah karena merasa malu jika terkena serangan di depan teman-temannya. Rasa malu ini terbentuk karena pengalamannya saat kena serangan di sekolah dan teman-temannya menjauhinya. Ada pula yang disebabkan karena respon guru yang mengatakan bahwa ODE lebih cocok bersekolah di SLB. Kekhawatiran akan serangan mengganggu aktivitas belajar, bekerja, dan bermain. ODE yang sedang berkuliah, mengalami kesulitan memahami materi kuliah, dan jika terlalu berkonsentrasi, ada kekhawatiran akan munculnya serangan.
Solusi
Hal pertama yang perlu dilakukan adalah tindakan medis untuk mengatasi gangguan epilepsi. Bisa melalui pengobatan rutin ataupun operasi. Itu semua tergantung dari penilaian terhadap kondisi ODE berdasarkan hasil aneka tes medis. Ada satu pertanyaan yang pernah kami baca dalam sebuah situs, yaitu pertanyaan tentang apakah operasi itu menyebabkan ODE menjadi bodoh. Jawabannya adalah tidak. Kami telah mewawancarai 3 ODE yang telah menjalani operasi. Ketiga ODE tersebut mengatakan bahwa pada masa pemulihan paska operasi, mereka mengalami kesulitan dalam berpikir dan mengingat. Setelah mereka mengikuti saran dokter untuk terus belajar serta berlatih, daya pikir dan daya ingat menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Dan jika dilakukan perbandingan dengan kondisi mereka sebelum operasi, kondisi mereka saat ini menjadi lebih baik, karena mereka tidak memiliki gangguan konitif seperti semula yang berpotensi merusak seluruh fungsi otak.
Kedua, kita perlu membentuk situasi lingkungan yang mendukung proses pendidikan bagi ODE. Jika para guru mengetahui lebih banyak tentang epilepsi, tahu tentang cara pertama pertolongan saat serangan, dan bagaimana harus bersikap terhadap ODE, situasi belajar yang kondusif bagi ODE akan terbentuk dengan sendirinya. Kami pernah menemui seorang guru. Ia bercerita tentang situasi kuliah dalam sebuah kelas. Ketika perkuliahan sedang berlangsung, tiba-tiba salah satu mahasiswanya mengalami serangan epilepsi. Saat itu ada mahasiswa lain yang menghidar ODE tersebut, ada yang berbisik-bisik “kasihan ya dia, hiii...serangan kayak gitu”, ada pula yang menunjukkan ekspresi takut tertular ataupun ekspresi seolah-olah epilepsi adalah sebuah penyakit yang menjijikkan. Namun, guru tersebut justru memarahi siswa lain yang berkomentar negatif tentang temannya yang sedang kena serangan. Guru tersebut bisa memahami kondisi ODE saat itu, bahwa yang dibutuhkannya saat itu adalah respon dukungan. Akhirnya guru tersebut menjelaskan tentang apa itu epilepsi kepada murid-muridnya, dan bagaimana caranya memberikan dukungan yang berarti bagi ODE. Dukungan yang diberikan dalam bentuk pertolongan saat ODE terkena serangan, dan ketika ODE sudah sadar atau kembali ‘normal’, maka proses belajar dilanjutkan seperti seolah-olah tidak ada masalah.
Hal tersebut dapat membantu ODE untuk menghilangkan rasa “membebani” orang-orang sekitarnya, karena memang mayoritas ODE seringkali merasa malu dan tidak enak untuk meminta pertolongan. Jika setiap guru bisa bertindak seperti itu, ODE tidak akan malu untuk belajar di sekolah. Dan bagi teman-teman ODE, pengalaman tersebut bisa dijadikan pembelajaran untuk mengasah nilai-nilai kemanusiaan.
Kesempatan bagi ODE untuk belajar perlu dibuka seluas-luasnya. Indikator kesuksesan belajar sebaiknya digeser, bukan berdasarkan nilai tetapi kemampuan yang terbentuk dalam diri setiap siswa. Di Amerika Serikat, ODE termasuk kedalam orang-orang yang dilindungi oleh Undang-Undang Disabilitas. Undang-undang ini mengatur tentang akomodasi bagi orang-orang yang memiliki hambatan dalam belajar ataupun bekerja. Contohnya seseorang yang memiliki hambatan dalam membaca, diberi akomodasi berupa informasi verbal. Seseorang yang sulit menghitung diberi hak untuk menggunakan kalkulator dalam belajar dan bekerja. Kesulitan menulis pada seseorang diatasi dengan cara mengerjakan tugas atau menjawab soal secara verbal dan direkam (Butterbaugh et al, 2004)
Kita perlu belajar untuk menghargai seseorang bukan dari kondisi hidupnya, tapi mari kita hargai dia dari bagaimana cara dia menyikapi kondisi hidupnya. Contohnya orang miskin dan kaya. Kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan dari keluarga kaya atau miskin. Oleh karena itu seseorang yang miskin dan malas bekerja itu sama buruknya dengan orang kaya yang selalu menghambur-hamburkan uang. Terlebih lagi jika uang tersebut bukan hasil kerja kerasnya, tetapi dari orang tuanya. Sebaliknya, seseorang yang miskin dan mau bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup, sama baiknya dengan orang kaya yang mau beramal menolong sesama.
Dalam konteks epilepsi, kita tidak bisa memilih apakah akan hidup tanpa gangguan atau hidup dengan gangguan epilepsi. Oleh karena itu, kita perlu menghargai ODE yang tidak menyerah menghadapi kondisinya dan mau untuk terus belajar. Karena itu lebih baik daripada orang normal yang malas belajar.
Sumber :
Bishop, M. & Hermann, B. (2000). Impact of epilepsy on quality of life : a review. In Baker, G. A., & Jacoby, A. (Ed), Quality of life in epilepsy : beyond seizure counts in assessment and treatment (pp 104-117). Amsterdam : Harwood Academic Publishers.
Butterbaugh, G., Olejniczak, P., Roques, B., Costa, R., Rose, M., Fisch, B., Carey,M., Thomson, J., & Skinner, J. (2004). Lateralization of temporal lobe epilepsy and learning disabilities, as defined by disability-related civil rights law. Epilepsia, 45(8), 963–970.
Posting Paling Sering Dikunjungi
-
Alhamdulillah, tidak diduga saya dinyatakan bebas dari epilepsy dgn EEG dan MRI normal. Alhamdulillah, Allah maha besar.
-
--> TANYA-JAWAB SEPUTAR EPILEPSI (dr. Irawati Hawari, Sp.S.) Apakah epilepsi sama dengan ...
-
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal, sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik mau...
-
"Saya bosan, tidak boleh berenang." "Saya bosan harus minum obat setiap hari." "Saya bosan bila sedang sen...
-
Sembilan tahun berteman dengan epilepsi pastinya bukan hal yang mudah. Berbagai pengobatan saya jalani, mulai dari pengobatan di Ruma...
-
Jumat, 26 Februari 2010 15:01 Penderita epilepsi sebagian besar memang anak-anak, namun ...
-
EPILEPSI DI INDONESIA *Irawaty Hawari Seperti kita ketahui bahwa epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa ba...
-
Sri Erni Istiawati * Membicarakan tatalaksana, selalu diawali dengan diagnosis...
-
Materi yang dibahas : - Definisi Kejang - Apakah itu epilepsi - Diagnosis Epilepsi - Mengatasi kejang pada anak. - Pengobata...
-
Oleh: dr. Irawaty Hawari, SpS Sebentar lagi kita akan memasuki bulan Ramadhan, dimana umat Islam di seluruh dunia akan menjalankan ibad...
Kategori
abc Epilepsi
(5)
Acara Epilepsi
(1)
acara TV
(1)
adsense
(1)
Album Photo
(1)
apa itu epilepsi
(4)
bagaimana epilepsi
(2)
Berdamai Dengan Epilepsi
(1)
bisnis internet
(1)
buku
(1)
buku epilepsi
(1)
buletin rutin YEI
(2)
carbamazepine
(1)
Carbamazepine; luminal
(1)
cerita epilepsi
(5)
clobazam
(1)
Data Anggota
(1)
Data BASS anggota
(1)
Diet Ketogenik
(6)
Donasi
(3)
Donatur
(1)
epilepsi
(3)
epilepsy and food combining
(1)
Fun Walk
(2)
Fun Walk 2015
(3)
Ganggua Penyerta
(1)
halal bil halal
(3)
Hari Epilepsi Internasional
(2)
Himbauan
(1)
HUT Yayasan Epilepsi Indonesia
(3)
HUT YEI 2016
(1)
Idul Fitri
(1)
Jaknews
(1)
kartu anggota
(1)
Keanggotaan
(1)
Kebiasaan Mengkonsumsi Obat
(1)
kegiatan
(16)
kelangkaan obat
(1)
Kepengurusan
(2)
Kerjasama
(1)
ketrampilan
(4)
Kiat
(2)
komunitas
(2)
Komunitas Debosi
(2)
komunitas peduli epilepsi
(2)
komunitas peduli epilepsi Bandung
(1)
Konferensi
(1)
Konferensi Nasional Epilepsi 2016
(1)
Media Massa
(18)
menikah
(1)
Misi YEI
(2)
Nomor ID YEI
(1)
Olah Raga
(1)
opini
(1)
pemeriksaan darah
(1)
Pendaftaran Anggota YEI
(1)
Pendataan anggota YEI
(1)
Pengobatan Epilepsi
(1)
Pertemuan
(5)
Pertemuan Rutin
(9)
Pertemuan Rutin epilepsi
(1)
prodia
(2)
Puasa
(2)
purple day
(3)
purple day 2013
(2)
Purple Day 2014
(3)
purple day 2017
(1)
Resolusi WHO
(1)
Seminar
(17)
seminar epilepsi
(4)
survey
(1)
tabel
(1)
Tahun Baru
(1)
talk show epilepsi
(1)
tata laksana epilepsi pada penderita Dewasa
(1)
Terapi Epilepsi
(2)
tips
(1)
Tulisan bebas
(7)
Ucapan Idul Fitri
(1)
ulang tahun YEI
(2)
Wirausaha
(1)