EPILEPSI DI INDONESIA
*Irawaty Hawari
Seperti kita ketahui bahwa epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa batasan usia, gender, ras sosial dan ekonomi. Data dari WHO menyebutkan bahwa dari banyak studi menunjukkan rata-rata prevalensi epilepsi aktif 8,2 per 1000 penduduk, sedangkan angka insidensi mencapai 50 per 100.000 penduduk. Meskipun di Indonesia belum ada data pasti tentang prevalensi maupun insidensi, tapi sebagai suatu negara berkembang yang berpenduduk berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah orang dengan epilepsi yang masih mengalami bangkitan atau membutuhkan pengobatan berkisar 1,8 juta.
Di Indonesia, epilepsi dikenal sebagai “ayan” atau “sawan”. Banyak masyarakat masih mempunyai pandangan yang keliru (stigma) dan beranggapan bahwa epilepsi bukanlah penyakit tapi karena masuknya roh jahat, kesurupan, guna-guna atau suatu kutukan. Hal ini terjadi karena saat serangan epilepsi terjadi di tempat umum, membuat masyarakat yang melihat menyimpulkan berbagai persepsi yang keliru. Mereka juga takut memberi pertolongan karena beranggapan epilepsi dapat menular melalui air liur. Adanya stigma dan mitos yang berkembang di masyarakat membuat orang dengan epilepsi di kucilkan oleh lingkungan, di keluarkan dari sekolah, menghambat karir dan kehidupan berumahtangga, sehingga membuat mereka merasa tertekan dan depresi. Oleh karena itu, banyak keluarga dari orang dengan epilepsi yang menutup-nutupi keadaan, sehingga membuat penanganan epilepsi menjadi tidak optimal.
Begitu pula dari kalangan medis sendiri, dimana para orang dengan epilepsi kurang mendapatkan perhatian dan penanganan yang holistik. Mereka hanya ditanya mengenai masih ada/tidaknya serangan dan menerima resep. Beberapa dari mereka juga belum memahami pentingnya minum obat secara teratur, sehingga banyak yang datang berobat karena serangan muncul kembali akibat obat terputus. Disamping itu ternyata banyak masalah psikososial yang timbul, yang tidak kalah pentingnya dari hanya sekedar sering tidaknya serangan. Terutama bagi wanita dengan epilepsi, yang merasa takut bila calon suaminya mengetahui bahwa dia menderita epilepsi. Juga saat dia hamil takut anak yang dilahirkan akan cacat dan ia akan disalahkan oleh suami dan keluarganya. Karena itu edukasi terhadap penderita dan keluarga menjadi sangat penting, juga keterlibatan dari disiplin ilmu yang lain seperti psikiater ataupun psikolog.
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa bagi orang-orang dengan penyakit kronis seperti epilepsi dimana kesembuhan sulit dicapai dan pengobatan dapat memakan waktu lama, kualitas hidup menjadi salah satu tujuan utama.
*Anggota PERDOSSI dan Humas di YEI
Kami pernah melakukan penelitian (cross-sectional study) untuk menilai kualitas hidup orang dengan epilepsi menggunakan instrumen QOLIE-31. Responden adalah mereka yang berobat di Poli Epilepsi Departemen Ilmu Penyakit Saraf RSCM, Jakarta, bulan Agustus-Desember 2005. Ternyata dari 145 responden yang berusia 18-60 tahun, didapatkan skor rata-rata kualitas hidup 67.62 ± 14.55. Faktor yang mempengaruhi rendahnya kualitas hidup adalah tingkat pendidikan yang rendah, frekuensi serangan yang sering dan jenis pengobatan polifarmaka. Tapi tentu saja hasil tersebut belum dapat mewakili seluruh penderita epilepsi yang tersebar di berbagai kota dan pulau-pulau di Indonesia.
Di Indonesia kami mempunyai Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia/PERDOSSI (Indonesian Neurological Association). Perdossi membawahi kelompok Perhimpunan Penanggulangan Epilepsi Indonesia (PERPEI) yang mempunyai perwakilan di beberapa kota besar di Indonesia dan Kelompok Studi Epilepsi. Kelompok ini terutama bertujuan untuk penanggulangan epilepsi dengan cara antara lain memberikan pengetahuan dan pelatihan kepada dokter-dokter Puskesmas, membuat buku panduan pengobatan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan medis. Tapi masalah epilepsi bukanlah hanya masalah penyakit/medis saja, tapi besar pengaruhnya terhadap masalah psikologis penderita dan masalah sosial di masyarakat, sehingga peran serta dari masyarakat juga sangat dibutuhkan demi penanganan yang optimal.
Berangkat dari berbagai masalah yang ada, beberapa dokter spesialis saraf dan masyarakat yang sangat peduli secara sepakat bersama-sama mendirikan sebuah yayasan bernama “Yayasan Epilepsi Indonesia” (Indonesian Epilepsy Foundation). YEI disahkan dihadapan notaris pada tanggal 8 Oktober 1992 di Jakarta, dengan para pendirinya adalah sebagai berikut: 1/ Prof. DR. Dr. Mahar Mardjono (Alm) yang dikenal sebagai “Bapak Epilepsi Indonesia”; 2/ Ny. Sridjati Kangeaningsih; 3/ Prof.Dr.Sidiarto Kusumoputro; 4/ Dr.Lily Djokosetio; 5/ Ny. Elfi Budio Santoso; 6/ Ny. Mieke Saleh Sastra; 7/ Dr. Hardhi Pranata.
Yayasan ini pada awalnya bertujuan untuk membantu pasien-pasien epilepsi yang tidak mampu berobat atau membeli obat anti epilepsi. Untuk itu Yayasan bekerjasama dengan Perpei dan salah satu Puskesmas di Jakarta untuk melayani penderita epilepsi. Tapi 2 tahun terakhir ini program tersebut tidak dapat berjalan baik. Kendala kemungkinan karena masalah kesulitan penyediaan obat dan koordinasi yang kurang baik dari para dokter yang bertugas melayani secara bergantian. Yayasan juga kesulitan dalam mencari dana karena sampai saat ini Kami tidak mempunyai donatur tetap. Bila mengadakan kegiatan kami hanya mengandalkan partisipasi dari pihak farmasi.
Misi yayasan saat ini adalah membantu upaya-upaya penanggulangan epilepsi di Indonesia dengan usaha-usaha terutama pada aspek psikososial. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah: 1) mengadakan penyuluhan bagi masyarakat baik melalui sekolah-sekolah, di radio dan televisi; 2) menyelenggarakan berbagai kegiatan ilmiah berupa seminar dan simposium untuk dokter umum dan awam; 3) menghadiri kongres epilepsi nasional dan internasional; 4) menerbitkan bulletin; 5) mendirikan klub epilepsi.
Klub epilepsi diisi dengan berbagai kegiatan, antara lain sebagai wadah saling tukar pengalaman antar sesama anggota, pelayanan konsultasi gratis dan membantu pengadaan obat anti epilepsi yang murah, memberikan beasiswa untuk mengikuti kursus / ketrampilan bagi orang dengan epilepsi yang tidak mampu, serta rekreasi bersama. Pemberian beasiswa pernah diberikan kepada lebih kurang 25 anak yang berprestasi, antara lain berupa bantuan biaya uang sekolah selama 1 tahun, bantuan untuk biaya kursus menjahit/memasak, ketrampilan dan lain-lain. Kami lebih banyak membantu untuk meningkatkan ketrampilan, karena diharapkan mereka bisa mempunyai keahlian tertentu dan menjadi mandiri. Rekreasi sudah beberapakali diadakan disekitar Jakarta.
Saat ini anggota YEI hanya sekitar 100 orang, tapi pada setiap pertemuan klub hanya dihadiri oleh separuhnya. Hal ini mungkin dikarenakan para anggota sebagian besar orang yang tidak mampu, sehingga untuk datangpun mereka kesulitan karena tidak ada biaya transportasi. Bahkan kadang kami harus memberi biaya pengganti transportasi untuk mereka.
Sejak Agustus 1996, YEI menjadi anggota IBE (International Bureau for Epilepsy) sebagai FRIEND Of IBE. Kami juga pernah menerbitkan sebuah buku berjudul “Bunga Rampai Epilepsi di Indonesia” pada tahun 2004, yang berisi tentang Epilepsi dan masalah-masalah psikososial yang dialami oleh warga dengan epilepsi.
Pada bulan April 2007, RS Hasan Sadikin Bandung, Jawa Barat dan FK UNPAD bekerjasama dengan ILAE mengadakan Teaching Course on Epileptic Syndromes
Kegiatan terakhir yang Kami lakukan adalah mengadakan simposium gratis untuk dokter umum dan masyarakat awam pada bulan Desember 2007 yang lalu, yang telah berjalan sukses. Acara tersebut Kami lakukan dalam rangka ultah Yayasan yang ke-15 bekerjasama dengan PERDOSSI dan salah satu rumah sakit swasta di Jakarta.
Penggantian pengurus dilakukan tiap 5 tahun, dimana sejak berdirinya YEI sampai saat ini tidak semua kegiatan dapat berjalan rutin karena terbentur masalah dana dan SDM. Saat ini kami masih berusaha dapat melakukan penyuluhan secara rutin, mengadakan pertemuan klub dan menerbitkan bulletin setiap 4 bulan. Kami juga sedang membuat Kartu Tanda Anggota (KTA), agar supaya bila terjadi serangan di tempat umum / mengalami kecelakaan, masyarakat dapat menghubungi keluarga/dokternya dan yang berwenang dapat mempertimbangkan kondisi mereka.
Selain itu, dalam segi pelayanan terhadap pasien epilepsi juga mengalami kendala antara lain keterbatasan dalam tenaga medik, keterbatasan dalam sarana penunjang medik, dana dan kemampuan masyarakat. Berbagai keterbatasan tadi dapat menurunkan optimalisasi penanggulangan epilepsi di Indonesia.
Kendala lain adalah tidak adanya kesadaran dari masyarakat, profesional maupun pemerintah tentang penyakit epilepsi itu sendiri. Berbeda dengan penyakit-penyakit lain misalnya seperti DM dan kanker, masih banyak masyarakat yang malu untuk mengakui dirinya atau anggota keluarganya menderita epilepsi.
Masalah yang saat ini masih ada adalah sulitnya merubah stigma yang sudah ada di masyarakat dan memberikan pengertian bahwa orang dengan epilepsi dapat hidup selayaknya orang normal dan mereka juga dapat berprestasi baik dalam pendidikan maupun karirnya. Karena itu, upaya-upaya memberikan penyuluhan harus terus menerus dilakukan baik di sekolah-sekolah maupun di masyarakat.
Dari pihak Pemerintah masalahnya adalah tidak adanya kesinambungan dan tindak lanjut dari instansi terkait untuk bantuan penyediaan obat karena terbentur masalah birokrasi. Yang saat ini sedang kami upayakan adalah bekerjasama dengan Dinas Kesehatan agar memberikan izin bagi dokter Puskesmas atau apotik untuk dapat memberikan OAE dalam jumlah lebih banyak kepada orang dengan epilepsi yang telah mempunyai KTA. Untuk diketahui bahwa dokter di Puskesmas sesuai peraturan hanya boleh memberikan obat untuk 3 hari saja.
Besar harapan Kami dimasa mendatang agar masyarakat dapat lebih memahami mengenai penyakit Epilepsi dan permasalahannya, serta Epilepsi dapat menjadi salah satu program unggulan (prioritas) baik dari institusi pemerintah maupun organisasi profesional yang terkait. Karena dengan penanganan yang optimal dan menyeluruh diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup orang dengan epilepsi, sehingga mereka dapat menjalani kehidupan normal serta segera keluar dari bayang-bayang stigma yang ada.